Monday, March 19, 2018

CERPEN


DALAM DIAM


Suara merdu kokokan ayam jantan, hiasan sinar kemerahan di ufuk timur serta senyum hangat Sang mentari membangunkan tidur pulasku pagi ini. Namaku Careeta Andena, seorang gadis berusia 15 tahun dengan keterbatasan bicara membuatku tak punya kepercayaan diri. Kata orang, aku termasuk anak yang cerdas, tapi keterbatasanku inilah yang membuat prestasi ku terhambat. Meskipun dengan keterbatasan, aku tetap bersekolah di sekolah umum, teman-temanku sedikit sedikit memahami perkataan ku meskipun terkadang aku terpaksa menggunakan isyarat ataupun tulisan agar memudahkan mereka memahami ku.

Hembusan angin menemani pagiku kali ini, hari ini adalah hari pertamaku masuk SMA, aku diterima di salah satu SMA favorit di kotaku. Pukul enam lebih lima menit aku berangkat sekolah diantarkan oleh ibuku, ditemani dengan nyanyian burung serta rentetan awan awan yang terus berkejaran menghiasi hamparan luas langit biru di atas sana. Namun tak seperti biasanya, tak ada lagi semangat, pikirku hanya diselimuti rasa resah, gelisah dan kecemasan tentang perlakuan kawan-kawan baru terhadapku nanti dengan keadaanku sekarang ini, tak ada hentinya aku memikirkan hal ini.
“ Kenapa cemberut seperti itu?” Tanya ibuku saat aku turun di depan gerbang sekolah dengan raut wajah yang tertekuk.
“ Aku takut.” Jawabku singkat dengan nada pelan tak terlalu jelas dan terbata-bata.
“ Kenapa harus takut?” Tanya ibuku lagi, dan aku yakin ibuku paham apa yang aku takutkan.
Aku hanya diam dan menunduk.
“ Tidak akan ada apa-apa, kamu anak yang pintar, tunjukkan pada teman-temanmu kalau dibalik kekuranganmu ada suatu kelebihan kamu! Sudahlah, ayo cepat masuk nanti kamu terlambat.” Jelas ibuku sambil terus tersenyum teduh, namun tak sedikit pun berhasil menghapus rasa takutku.

Bel sekolah berbunyi nyaring memenuhi seluruh penjuru sekolah, matahari pun sedikit meninggikan keberadaannya. Aku dan murid-murid baru lainnya mulai memasuki ruang kelas yang telah ditentukan. Kakak-kakak OSIS mempersilahkan kami memperkenalkan diri di depan kelas, satu persatu mulai memperkenalkan dirinya, kini tibalah giliranku. Baru dua kata yang ku lontarkan, seisi kelas sontak ramai dengan tawa dan ejekan-ejekan yang mengarah kepadaku, inilah yang aku takutkan. Aku kembali ke tempat dudukku dengan perasaan yang bercampur aduk, rasanya air mataku memaksa jatuh saat itu juga, namun aku berhasil menahannya karena aku tahu, jika aku menangis itu hanya akan semakin mempermalukanku. Untung saja teman sebangku ku tidak keberatan berteman denganku.

Semakin hari perlakuan mereka semakin menjadi-jadi, tak ada bosan-bosannya mengejekku, satu kata saja yang ku katakan akan menimbulkan tawaan-tawaan sengit mereka. Itu yang membuatku jarang sekali berbicara bahkan tak pernah bicara, hari-hariku hanya diam, diam dan diam. Jika aku ingin bicara pun hanya ku bisikkan pada Nola, kawan sebangku ku itu. Tak hanya di sekolah, di rumah pun juga seperti itu, aku lebih suka menghabiskan waktu sendirian di dalam kamar dengan mencari kesibukan-kesibukan sendiri tanpa pernah keluar rumah.

Hari-haripun berlalu, hari ini aku berangkat saat jarum panjang jam mengarah pada angka delapan dan jarum pendeknya mendekati angka tujuh, sama seperti biasanya aku diantar oleh seseorang yang begitu berarti dalam hidupku, Ibuku. Entah mengapa, aku merasa bimbang seperti ada kekhawatiran yang aku pun juga tak tahu aku mengkhawatirkan apa. Entahlah, semoga hari ini berjalan dengan baik, harapku dalam hati.

Pukul tujuh tepat, bel tanda masuk kelas terdengar merdu memulai jam pelajaran kali ini, suasana kelas menjadi tenang saat guru berbadan tegap dengan seragam warna coklat muda serta tas hitam menggantung di pundak kanannya memasuki ruang kelasku dan pelajaran pun dimulai.

Bel istirahat pun berbunyi, murid-murid pun berhamburan keluar kelas mengatasi desakan perutnya yang terus bernyanyi-nyanyi. Tak hanya itu, mereka juga banyak menghabiskan waktu istirahatnya dengan melampiaskan rasa bosannya pada suasana yang lebih menyenangkan di luar kelas. Tapi aku tetap disini, syukurlah Nola selalu membantuku, dia yang selalu membela ku, melawan anak anak yang tak ada hentinya menggangguku.

Tiba-tiba, dengan kasar, Nessa, si singa kelas menarik pergelangan tanganku dan menarikku keluar kelas, aku mencoba melawan melepaskan tanganku dari genggamannya, namun tidak bisa. Ia menyeretku pada gerombolannya gengnya di ujung koridor dengan muka-mukanya yang tampak garang. Mereka memaksaku bicara, seakan aku jadi bahan lawakan, lelucon dan ejekan mereka. Tapi aku tak mau dan mereka terus saja memperlakukan ku kasar. Terlihat Nola mencoba melawan gerombolan geng para singa itu, mencoba menarikku keluar namun terus saja ditahan oleh mereka. Tanpa sengaja, Nessa menyenggol badanku yang berdiri tepat di samping tangga, sampai akhirnya aku terjatuh menyusuri tiap-tiap pijakan anak tangga yang terletak tepat di samping koridor. Pandanganku tiba tiba saja gelap, hitam, badan dan kepalaku berkali kali menghantam tiap-tiap pijakan anak tangga, yang ku dengar hanya suara teriakan keras Nola memanggil namaku di kejauhan yang mungkin masih terpaku di atas sana. Tubuhku terus berputar sampai akhirnya berhenti di lantai bawah dengan hantaman keras ke lantai atau mungkin tembok aku pun tak tau, begitu keras, keras sekali!! aku masih bisa merasakannya, seketika itu tak ada lagi yang bisa ku dengar, hanya gelap, hitam dan sunyi dan tak ku ingat apa apa lagi.

Saat mataku terbuka, aku sudah berada di ruang yang penuh dengan bau obat-obatan, dengan berbagai kabel-kabel dan alat alat lainnya yang menempel di badanku. Rasanya aku sudah tertidur begitu lama. Pandanganku masih buram, terlihat seorang perempuan paruh baya tertidur di kursi samping ranjang tempatku berbaring, ya itu ibuku. Tak ada yang berbeda, hanya nyeri pada leher belakangku, aku pun masih mampu mengingat dengan baik, kejadian-kejadian saat itu, betapa kerasnya lantai atau mungkin tembok, pijakan-pijakan anak tangga yang seakan meremukkan tulang-tulangku. Bola mataku terus berputar mengelilingi seluruh sudut-sudut ruangan. Suara pintu mulai terbuka diikuti dengan sosok Nola memasuki ruangan tempatku dirawat tersenyum sumringah melihatku.
“Ree, kamu sudah sadar? Syukurlah. Sudah tiga hari kamu nggak bangun-bangun, akhirnya kamu bangun juga.” Kata Nola sambil berlari mendekati ku
Aku hanya tersenyum membalasnya.
“Kamu nggak papa kan? Masih banyak yang sakit yah?” Tanya nya masih begitu khawatir.
     ..” aku mencoba menjawab, namun tak ada sedikitpun suara yang mampu ku katakan.

Ibuku terbangun mendengar ocehan Nola, menanyakan bagaimana keadaanku, apa yang aku rasakan, namun tak sedikitpun bisa ku jawab. Entahlah suaraku sudah tak terbata-bata lagi, karena suaraku sudah hilang, lenyap, sepenuhnya sudah tak ada. Apapun sebabnya aku pun tak tau jelas mengapa.

Hari hari pun berlalu tak kusadari, tanpa ada kata kata lagi, tanpa ada suara itu lagi, suara yang biasanya kusembunyikan, yang biasanya jadi bahan ejekan semua yang mendengar, kini aku sadar pentingnya mensyukuri apapun karunia Tuhan, bukan disembunyikan karena malu ataupun takut akan ejekan ejekan orang-orang, semua itu anugrah. Tapi tak ada guna lagi menyesal, ataupun menyalahkan, karena ku tahu Tuhan punya tujuan.

Waktu kembali berlalu, aku pun kembali pergi sekolah ditemani sahabat karibku, tak ada lagi takut, ataupun cemas. Kali ini aku benar-benar diam, tak ada lagi yang harus ku sembunyikan, tak akan ada lagi ejekan ataupun tawaan.

Terlihat Nessa dan gengnya duduk duduk santai di depan kelas, masih tetap dengan muka-muka garangnya menatapku sinis. Dia beranjak berdiri menghadang jalan.
“ Mau apa lagi? masih belum puas? Masih mau maksa Reeta buat ngomong? Masih mau ngetawain? Kamu udah ngilangin suaranya, masih kurang? mau apa lagi? ngilangin nyawanya? Baru kamu puas? Hah?” bentak Nola keras di hadapan Nessa. Aku mencoba menahan Nola. Tak usah lah memperdulikan mereka.

Nessa hanya diam menatapku dalam-dalam seakan siap menerkam. Tapi entahlah! Mungkin hatinya mulai melunak, tanpa ku duga kata maaf itu terlontar dari mulutnya, diikuti semua anggota gengnya.

Hari-hari pun kian berlalu, tanpa ada lagi ejekan, tawaan dari mereka mereka. Bahkan sekarang semuanya berubah, aku semakin banyak mempunyai teman, tak seperti dulu. Mungkin aku benar-benar dalam diam, namun hariku tak pernah dibuat diam.

Dan aku pun tahu tujuan Tuhan mengambil suaraku sepenuhnya, agar aku tak perlu lagi susah-susah menyembunyikannya lagi. Tapi Tuhan menggantinya dengan kawan kawan baru yang dapat mewakilkan suaraku.



^_^


No comments:

Post a Comment